Nama :
Muhammad Faruq Bukhori
NIM :
13020117140087
HAK ASASI
MANUSIA ( HAM )
A. Sejarah HAM
Pemikiran tentang HAM sudah ada sejak
abad 13 di Inggris. Ketika itu raja John Lackland (1199-1216) mendapat
tentangan keras dari kalangan bangsawan. Mereka memaksa agar raja menandatangi
piagam Magna Charta (1215) yang
berisi hak-hak kaum bangsawan dan gereja. Sejarah perkembangan HAM dapat
ditelusuri dari masa Yunani Kuno dan juga masa Romawi, pada masa tersebut telah
dikenal hak bagi warganegara, kebebasan yang sama untuk berbicara dan
mengadakan pertemuan public dan persamaan di depan umum. Perkembangan HAM di
Eropa seperti di Perancis, pemikiran ini dipelopori oleh Montesquieu (1689-1755)
yang ia dapati ketika melakukan perjalanan di Jerman, Hongaria, Austria,
Italia, Swiss, Belanda, dan Inggris. Pemikiran tentang HAM yang berpengaruh
terhadap revolusi adalah Rousseau (1712-1778), yang menyatakan bahwa kebebasan
berpendapat tidak terbatas hanya pada pemikiran tentang Negara dan hukum,
tetapi juga pada sifat yang tidak sesuai dengan alam.
Satu tonggak HAM modern pada saat ini
berawal dari pidato kongres Amerika Serikat tahun 1941 oleh presiden Franklin
D.Rosevelt yang menyatakan tentang The
Four Freedom, yaitu Freedom of
speech, freedom of religion, freedom from fear, dan freedom from want. Serta perjuangan HAM saat ini telah menjadi
tujuan Perserikatan Bangsa Bangsa. Munculnya globalisasi pada decade akhir abad
ke-20 telah menjadikan HAM sebagai isu global. HAM telah menjadi komponen
penting dalam politik luar negeri suatu Negara.
B. Perkembangan
HAM di Indonesia
Pada awal pembentukan UUD 1945. Dalam
siding BPUPKI, Moh.Hatta dan Yamin
berusaha menekankan pentingnya nilai HAM masuk dalam konstitusi. Langkah maju
dalam bidang HAM terjadi dengan berlakunya Konstitusi RIS (1949-1950). Berikut
merupakan masalah HAM dari gambaran penguasa di Indonesia berikut ini :
1.
Masa Pemerintahan Soekarno
Pada masa orde lama
pelanggaran HAM banyak terjadiakibat adanyabatasan dalam gerak dan kreasi dalam
beraktivitas. Maka dari itu disahkan beberapa konvensi HAM, yaitu konvensi hak
politik wanita dan konvensi ILO.
2. Masa pemerintahan Soeharto
Pergantian Orde Lama ke
Orde Baru menjadikan langkah maju dalam bidang HAM di tahun 1993 dengan
dibentuknya Komisi Nasional, namun kemajuan pada rezim ini cenderung
mengabaikan kasus pelanggaran HAM
seperti G 30 S/PKI, kasus Tanjung Priok, Trisakti, Semanggi, Santa Cruz,
DOM, Penculikan aktivis. Pada rezim Orde Baru hanya mengesahkan tiga konvensi
PBB tentang HAM, yaitu Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan, Konvensi hak anak, dan Konvensi Internasional menentang Apartheid
dalam Olahraga.
3.
Masa Pemerintahan Habibie
Tonggak sejarah penting
mengenai penegakan HAM di Indonesia berikutnya ialah lahirnya UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa pelanggaran
HAM berat adalah kejahatan genoside dan
kejahatan “kemanusiaan”. Selama rezim Habibie periode ini tercatat ada enam
konvensi HAM yaitu Konvensi Menentang penyiksaan dan perilaku kejam lainnya,
Konvensi pengahapusan segala bentuk diskriminasi rasial, Konvensi ILO tentang
kebebasan berserikat dan perlindungan ham untuk berorganisasi , Konvensi ILO
tentang penghapusan kerja paksa, Konvensi ILO tentang diskriminasi dalam
pekerjaan dan jabatan, dan Konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan
bekerja.
4. Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Dimasa
pemerintahan Abdurrahman Wahid, perlindungan HAM mendapatkan perhatian lebih.
Hal ini guna menyempurnakan RAN HAM juga dibentuk lembaga baru, yaitu Menteri
Negara Urusan HAM.
C.
Peradilan HAM
Pada dasarnya masalah
HAM menyangkut penyalahgunaan kekuasaan maupun kekuatan dengan berbagai
variasinya. Melihat spectrum permasalahan HAM sebagai satu pilar dari bangunan
Negara Hukum, maka dituntut adanya tanggung jawab moral dan yuridis untuk
menemukan jalan alternative tegaknya Negara hukum. Terkait dengan peradilan
Internasional HAM, PBB tengah menyelesaikan Rules
of Procedure bagi berfungsinya Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) bukti
seriusnya ICC dalam menangani masalah kejahatan manusia terlihat dari keputusan
ICTY terhadap tiga orang tokoh Yugoslavia, yaitu bekas Presiden Slobodan
Milosevic, Radoan Karadzic dan Radko Mladic, mantan jendral tentara Serbia
Bosnia. Dalam kasus Radovan Karadzic dan Radko Mladic, mereka mulai berstatus
buron ketika pada bulan Juli 1995 ICTY menjatuhkan dakwaan atas tindakan
genosida, pembunuhan, deportasi dan kekerasan terhadap warga Muslim Kroasia dan
warga sipil non-Serbia selama perang Bosnia-Herzegovina 1992-1995.
Setelah pencarian
selama 13 tahun, akhirnya pada 21 Juli 2008 Karadzic tertangkap di Belgrado,
sementara Radko Mladic hingga sekarang masih buron. Kejahatan paling keji yang
dituduhkan pada Karadzic ialah pengepungan kota Serajevo selama 43 bulan, yang
menyebabkan sekitar 12.000 orang warga sipil terbunuh. Selain itu pembantaian
terhadap 8.000 pria dewasa dan anak-anak warga Muslim di Sebrenica, Bosnia
Timur pada Juli 1995 (Kompas, 23 Juli
2008).
Kasus lain ialah
keputusan Mahkamah Kriminal Internasional untuk Rwanda di Arusha, Tanzania.
Tanggal 12 Desember 2008 ICTR menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Theoneste
Bagosora, mantan pejabat militer senior di Rwanda. Sejak Juli 1994 dia
melarikan diri dari Kagali dan baru tertangkap di Kamerun pada tahun 1996.
Bagosora adalah tokoh pertaman Rwanda yang diadili ICTR dengan tuduhan sebagai
dalang pembantaian 800.000 warga suku minoritas Tutsi dan suku Hutu moderat
dalam jangka waktu 100 hari di tahun 1994. Selain itu, dia juga dituding
sebagai tokoh yang mengacaukan perundingan damai di Tanzania tahun 1993 (Kompas, 20 Desember 2008).
Menurut prinsip-prinsip
universal HAM, ada perbedaan pertanggungjawaban antara pelanggaran HAM dan
tindakan biasa. Pertanggungjawaban HAM syaratnya harus dilakukan oleh pejabat
public (militer atau sipil) bersama orang biasa, dan dilakukan atas nama Negara
atau pemerintah. Menurut KOMNAS HAM faktor penyebab banyaknya pelanggaran HAM
di Indonesia disebabkan karena masih lemahnya kesadaran hukum, kesadaran
kemanusiaan dan kesadaran politik dari aparat pelaksanan sistem.
Lemahnya komitmen
Indonesia terhadap masalah HAM terlihat semakin jelas dari bukti berikut.
Meskipun MPR dengan tegas telah mengamanatkan pembentukan komisi kebenaran dan
Rekonsiliasi Nasional bahkan RUU KKR telah mulai disusun sejak tahun 1999,
namun baru diajukan ke DPR pada tanggal 26 Mei 2003 di masa Presiden Megawati
Soekarnoputri . Ternyata pembahasan di DPR berjalan begitu a lot, sehingga baru
pada tanggal 7 September 2004 tentang komisi kebenaran dan Rekonsiliasi.
Ironisnya di saat para
aktivis pembela HAM terus mendesak pemerintah agar segera membentuk KKR,
tiba-tiba pada tanggal 7 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi membatalkan UU
tersebut. Dalam kasus ini banyak pihak menyadari bahwa UU tersebut memang
banyak pihak menyadari bahwa UU tersebut memang banyak mengandung kelemahan ,
namun para aktivis HAM berharao agar Mahkamah Konstitusi hanya menguji materi
beberapa pasal khusus yang merugikan korban dan menguntungkan pelaku kejahatan
HAM berat. Hanya saja Mahkamah Konstitusi memberi lebih dari apa yang diminta,
yakni keluarnya keputusan tentang tidak berlakunya lagi UU No. 7 Tahun 2004
tentang KKR. Keputusan itu membuat herapan penegakkan HAM di Indonesia yang
tadinya mulai mekar menjadi kuncup kembali (Kompas,
8 Desember 2006).
Dalam kaitan dengan
penegakkan HAM internasional, di tahun 2001 Indonesia pernah dikejutkan oleh
adanya rencana Pemerintahan Transisi PBB di Tomor Timur (UNTAET) untuk
memeriksa sejumlah perwira TNI dan Polri dalam kasus pelanggaran HAM di Timor
Timur. Harian Australia, Sideny Morning Herald dalam edisi 3 Februari 2001
bahkan memberitakan tentang rencana penangakapan seorang mantan petinggi TNI
dengan tuduhan pembunuhan terhadap lima wartawan asing di perbatasan Timor
Timur.
Terlepas dari benar
atau salah, dan tuduhan itu terbukti atau tidak, ancaman PBB tersebut tidak
bisa dipandang ringan. Masalahnya, di era globalisasi sekarang, masalah yang
terjadi dalam lingkup komunistas kecil bisa berefek global. Selain itu
ketentuan hukum HAM internasional bekerja dengan jangkauan dan dukungan banyak
Negara, dan mulai membenci tindak kekejaman tetapi kebal hukum. Saat ini sistem
hukum HAM internasional, selain dibuat untuk memburu para penjahat kemanusiaan
yang berlindung di balik nasionalisme dan kedaulatan sebuah Negara, juga
berwenang melakukan intervensi jika Negara yang bersangkutan tidak mampu
memeberikan hukuman yang setimpal bagi pelanggar HAM berat.
Untuk menghidupkan
sistem tersebut, ICC sengaja membentuk lembaga dan membuat berbagai ketentuan
serta sanksi agar Negara pelanggar tidak mampu lagi berkelit dan membuat-buat
alasan. Pendeknya sistem ini memang berusaha menjebol dinding pertahanan setiap
Negara, yang melakukan kekejaman tetapi berlindung di balik sistem hukum
nasionalnya. Setiap perlawanan terhadap HAM justru akan menuai tekanan dalam
berbagai bentuk, mulai dari pemutusan hubungan diplomatic, embargo ekonomi
bahkan tekanan militer.
Tampaknya keberhasilan Negara
saat ini tidak lagi hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga
bagaimana mereka “memperlakukan rakyatnya”. Di samping itu, adanya muatan nilai
HAM pada setiap bantuan keuangan internasional bagi Negara peminjam juga
membuktikan bahwa sosialisasi HAM sengaja dikaitkan dengan tegaknya aturan
dalam tatanan ekonomi global . Walaupun tatanan itu sebenarnya juga menyimpan
“kepentingan”, terbukti diberlakunya politik yang diskriminatif dengan dalih
penegakkan HAM.
Hal ini terlihat
misalnya dalam kasus Afghanistan yang dituduh memberikan perlindungan kepada
Osama bin Laden, dan juga perlakuan Negara multi nasional terhadap Iran, Irak,
dan Libya dengan tuduhan terorisme, disbanding dengan perlakuan terhadap Israel
dalam kasus Palestina.
HAM pada saat ini di
anggap sebagai “Agama Global” yang mana mampu memaksa suatu Negara untuk tunduk
pada peraturan tersebut yang terkandung didalamnya. Apa pun yang terjadi, HAM
bukan saja sebagai parameter bagi sebuah pemerintahan, tetapi menjadi pranata
hukum yang dituntut penerapannya secara konsekuen.
Comments
Post a Comment